31 Oktober 2012

Wasiat Seorang ibu kepada putrinya yg akan merasakan Mahligai Malam Pertama


Al-'Abaas bin Khoolid As-Sahmi berkata :

"Tatkala 'Amr bin Hajr mendatangi 'Auf bin Mahlam As-Syaibaani untuk melamar putrinya yaitu Ummu Iyaas, maka 'Auf berkata, "Aku akan menikahkan putriku kepadamu dengan syarat aku yang akan memberi nama putra-putranya dan aku yang akan menikahkan putri-putrinya kelak". Maka 'Amr bin Hajr berkata, Adapun putra-putra kami maka kami menamakan mereka dengan nama-nama kami dan nama-nama bapak-bapak kami dan nama-nama paman-paman kami. Adapun putri-putri kami maka yagn akan menikahi mereka adalah yang setara dengan mereka dari kalangan kerajaan, akan tetapi aku akan memberikan kepadanya mahar sebuah bangunan di Kindah, dan aku akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaumnya, tidak seorangpun dari mereka yang akan ditolak hajatnya". Maka sang ayah ('Auf) pun menerima mahar tersebut lalu menikahkan 'Amr dengan putrinya Ummu Iyaas.

Tatkala 'Amar akan membawa sang putri maka datanglah sang ibu menasehati empat mata kepada sang putri seraya berkata:

أَيْ بُنَيَّةِ، إِنَّكِ فَارَقْتِ بَيْتَكِ الَّذِي مِنْهُ خَرَجْتِ، وَعَشِّكِ الَّذِي فِيْهِ دَرَجْتِ، إِلَى رَجُلٍ لَمْ تَعْرِفِيْهِ، وَقَرِيْنٍ لَمْ تَأْلَفِيْهِ، فَكُوْنِي لَهُ أَمَةً يَكُنْ لَكِ عَبْدًا، وَاحْفَظِي لَهُ خِصَالاً عَشْراً يَكُنْ لَكِ ذُخْرَا
"Wahai putriku, sesungguhnya engkau telah meninggalkan rumahmu -yang di situlah engkau dilahirkan dan sarangmu tempat engkau tumbuh- kepada seorang lelaki asing yang engkau tidak mengenalnya dan teman (*hidup baru) yang engkau tidak terbiasa dengannya. Maka jadilah engkau seorang budak wanita baginya maka niscaya ia akan menjadi budak lelakimu. Hendaknya engkau memperhatikan dan menjaga 10 perkara untuknya maka niscaya akan menjadi modal dan simpananmu kelak.
أَمَّا الْأُوْلَى وَالثَّانِيَةُ: فَالْخُشُوْعُ لَهُ بِالْقَنَاعَةِ، وَحُسْنِ السَّمْعِ لَهُ وَالطَّاعَةِ
"Adapun perkara yang pertama dan kedua adalah (1) Tunduk kepadanya dengan sifat qonaah, serta (2) mendengar dan taat dengan baik kepadanya"
وَأَّمَّا الثَّالِثَةُ وَالرَّابِعَةُ: فَالتَّفَقُّدُ لِمَوْضِعِ عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ، فَلاَ تَقَعُ عَيْنُهُ مِنْكِ عَلَى قَبِيْحٍ، وَلاَ يَشُمُّ مِنْكِ إِلاَّ أَطْيَبَ رِيْحٍ
"Adapun perkara yang ketiga dan keempat yaitu engkau memperhatikan pandangan dan ciumannya, maka (3) jangan sampai matanya melihat sesuatu yang buruk dari dirimu dan (4) jangan sampai ia mencium darimu kecuali bau yang terharum"
وَأَمَّا الْخَامِسَةُ وَالسَّادِسَةُ: فَالتَّفَقُّدُ لِوَقْتِ مَنَامِهِ وَطَعَامِهِ، فَإِنَّ حَرَارَةُ الْجُوْعِ مُلْهِبَةٌ، وَتَنْغِيْصَ النَّوْمِ مُغْضِبَةٌ
"Adapun perkara yang kelima dan keenam adalah (5 & 6) memperhatikan waktu tidurnya dan makannya, karena panasnya lapar itu membakar dan kurangnya tidur menimbulkan kemarahan"
وَأَمَّا السَّابِعَةُ وَالثَّامِنَةُ: فَالاِحْتِفَاظُ بِمَالِهِ، وَالْإِرْعَاءُ عَلَى حَشْمِهِ وَعِيَالِهِ، وَمِلاَكُ الْأَمْرِ فِي الْمَالِ حُسْنُ التَّقْدِيْرِ، وَفِي الْعِيَالِ حُسْنُ التَّدْبِيْرِ
"Adapun perkara ketujuh dan kedelapan ; (7) menjaga hartanya dan (8) perhatian terhadap kerabatnya dan anak-anaknya. Dan kunci pengurusan harta adalah penempatan harta sesuai ukurannya dan kunci perhatian anak-anak adalah bagusnya pengaturan"
وَأَمَّا التَّاسِعَةُ وَالْعَاشِرَةُ: فَلاَ تَعْصِنَّ لَهُ أَمْرًا وَلاَ تَفْشِنَّ لَهُ سِرًّا، فَإِنَّكِ إِنْ خَالَفْتِ أَمْرَهُ أَوْغَرْتِ صَدْرَهُ، وَإِنْ أَفْشَيْتِ سِرَّهُ لَمْ تَأْمَنِي غَدْرَهُ
"Adapun perkara yang kesembilan dan kesepuluh adalah (9) janganlah sekali-kali engkau membantah perintahnya dan (10) janganlah sekali-sekali engkau menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya maka engkau akan memanaskan dadanya, dan jika engkau menyebarkan rahasianya maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya"
ثُمَّ إِيَّاكِ وَالْفَرَحَ بَيْنِ يَدَيْهِ إِذَا كَانَ مُهْتَمًّا، وَالْكَآبَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ إِذَا كَانَ فَرِحاً.
"Kemudian hati-hatilah engkau jangan sampai engkau gembira tatkala ia sedang bersedih, dan janganlah bersedih tatkala ia sedang bergembira."
Al-'Abaas bin Khoolid As-Sahmi berkata, "Maka kemudian Ummu Iyaas pun melahirkan bagi 'Amr bin Hajr anaknya yang bernama Al-Haarits bin 'Amr, yang ia merupakan kakek dari Umrul Qois penyair dan pujangga yang tersohor."
(Dari kitab Al-'Aqd Al-Fariid karya Al-Faqiih Ahmad bin Muhammad bin Abdi Robbihi Al-Andaluusi, tahqiq : DR Mufiid Muhammad, jilid 7 hal 89-90, Daarul Kutub al-'Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1983)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-03-1433 H / 27 Januari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

24 Oktober 2012

Hadiah di Hari Lahir (5), Sunnah Aqiqah Bagi Si Buah Hati


Hadiah di Hari Lahir (5), Sunnah Aqiqah Bagi Si Buah Hati

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala karunia dan nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Pembahasan kali ini adalah kelanjutan artikel hadiah di hari lahir. Saat ini kita akan masuk pada pembahasan aqiqah. Untuk serial aqiqah pertama ini, kami angkat pembahasan seputar hukum aqiqah dan siapa yang dituntut melaksanakan aqiqah. Semoga bermanfaat.

Pengertian Aqiqah

Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti  (يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula ketika itu.[1]

Pensyariatan Aqiqah

Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR. Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[2]) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan."
Ia berkata, "Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu Abbas." Abu Isa berkata, "Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih[3])
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-[4]
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.[5] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[6]
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia suka dinusuk (diaqiqahi), maka lakukanlah.”[7]
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqahSedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula menyebut Isya dengan ‘atamah.”[8]
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[9]
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ سُنَّةٍ .
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ
Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[11]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah- mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan, hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[12]
Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”[13]
Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu yang sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”[14]
Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang  bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah- menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”[15]
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir, namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.[16]
Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[17]
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?”
Beliau -rahimahullah- memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[18]
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[19].Wallahu a’lam.
Pembahasan aqiqah tidak hanya sampai di sini, kita masih melanjutkan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan aqiqah. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa taimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang-GK, 25 Jumadits Tsani 1431 H, 07/06/2010


[1] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh Minhaj Ath Tholibin), Muhammad  bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H.
[2] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan kaki kitab Fiqh Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon.
[3] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan disinggung selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan serial kedua.
[4] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154, Mawqi’ Al Waroq.
[5] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

PUASA TARWIYAH ARAFAH, SHAHIHKAH HADITSNYA?


#PUASA TARWIYAH ARAFAH, SHAHIHKAH HADITSNYA?#

بِسْــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ 

Ada riwayat yang menyebutkan,

صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة

“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. 

Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta. 

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah). (Lihat Irwa’ul Gholil no. 956)

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari rabu besok) karena hadisnya dha’if (lemah). 

Namun jika ingin berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. 
Wallahu a’lam.

Pembahasan selengkapnya silahkan lihat :

DERAJAT HADITS PUASA TARWIYAH ARAFAH

Selain itu , beredar juga di  вв anjuran puasa tgl 8 dan 9 , yg dibagian akhirnya diembel2i dgn hadits yang tidak jelas yang tidak perlu diikuti, bunyinya  :

"Bagi yang mengingatkannya seolah olah ia telah beribadah 80 tahun" 

Maka ini hadits abal2, hadits ngawur, hadits palsu.
WASPADALAH....!!
Jangan sampai ќĭτά berkata dusta atas nama Rosululloh..
نعوذبالله من ذالك 

Semoga bermanfaat.


                    ⌣̊┈̥-̶̯͡♈̷̴┈̥-̶̯͡⌣̊

22 Oktober 2012

Hadirkan Surga di Rumah Kita


Hadirkan Surga di Rumah Kita


Setelah bekerja seharian, keringat Fulan pun bercucuran. Hanya satu yang dia inginkan: segera tiba di rumah. Lalu bisa beristirahat, melepas penat. Saat pulang, baru sampai di pintu saja, rasa lelahnya sudah jauh berkurang. Istrinya yang setia, menyambutnya di pintu dengan senyum hangat. Anak-anaknya pun berteriak kegirangan, “Abi pulang… Abi pulang….” Begitu masuk rumah, segalanya sudah tertata rapi dan indah. Segelas teh hangat dan pisang goreng pun telah terhidang untuknya. Hem…nikmatnya….
Beruntunglah Fulan, memiliki rumah yang menyenangkan. Pantas saja dia selalu merindukan rumahnya, karena di situlah “surganya”.
Bersyukurlah, bila Anda seberuntung Fulan. Memiliki istri salehah, anak-anak yang lucu, dan rumah yang menyenangkan. Anda layak berkata, ” Baiti jannatii (rumahku surgaku).”
Sungguh, di zaman yang makin canggih seperti saat ini, sangat banyak orang yang tak seberuntung Fulan. Rumah hanya dijadikan tempat “numpang tidur”, karena aktivitas di luar rumah justru lebih banyak. Pergi subuh, pulang jam sembilan malam, sudah biasa. Konon, semua itu demi karir dan tuntutan kebutuhan.
Suami-istri sangat jarang memiliki waktu bersama di rumah. Anak-anak juga jarang bertemu dengan ayahnya. Saat ayahnya berangkat kerja, mereka belum bangun. Ketika ayahnya pulang, mereka sudah tidur. Istri pun mencari “kesenangan” sendiri dari orang lain, karena tidak mendapatkan kesenangan dan ketenangan dari suaminya. Hubungan antara suami dan istri menjadi renggang, dan pertengkaran pun tak terhindarkan. Semua saling menyalahkan. Masing-masing jadi tak betah di rumah. Bagi mereka, rumah ibarat neraka dunia. Na’udzubillaah min dzaalik.
Kalau kita disuruh memilih antara surga dan neraka, tentu semuanya menginginkan surga. Di dunia, juga di akhirat. Sebagaimana kita selalu berdoa, agar diberi kehidupan yang baik dan bahagia, di dunia maupun di akhirat, dan dijauhkan dari api neraka. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wafil aakhirati hasanah, waqinaa ‘adzaabannaar.
Di akhirat, surga menjadi hadiah bagi manusia yang beriman dan bertakwa semasa hidupnya. Beragam kenikmatan ada di sana. Allah l telah menciptakan dan melengkapi surga itu dengan berbagai hal untuk kesenangan manusia.
Bagaimana dengan surga dunia? Ia pun tidak akan tercipta dan kita rasakan secara otomatis, tanpa usaha. Kalau mau berusaha, kita bisa menghadirkannya di rumah kita. Betapa membahagiakan, bila baitii jannatii, bukan sekadar impian.


APA SAJA KIATNYA?
Berikut ini beberapa kiat yang bisa kita lakukan, untuk menghadirkan surga di rumah kita.
1. Milikilah sebaik-baik perhiasan dunia
Sebaik-baik perhiasan dunia ialah wanita shalihah. Dialah bidadari surga dunia. Dialah permaisuri di rumah kita. Siapa pun yang menginginkan rumahnya seindah surga, harus memilikinya.
Karena itu, kepada para lelaki, jangan pernah salah memilih calon permaisurimu. Kesalahan dalam memilih istri akan berakibat fatal bagi rumah tanggamu. Bisa jadi, bukan kebahagiaan yang akan kau dapat, tetapi neraka dunia. Nikahilah wanita yang salehah, agar bisa engkau jadikan partner setia untuk membangun surga dunia.
Rasulullah n bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah jika kamu memandangnya dapat membuatmu senang, jika kamu menyuruhnya maka dia selalu taat, jika kamu memberinya (uang) maka dia akan menggunakannya untuk kebaikanmu, jika kamu pergi maka dia akan menjaga dirinya dan hartamu.” (Riwayat An-Nasa’i)
Wanita seperti itulah, yang akan bisa mendatangkan surga di rumahnya.


2. Perhatikan kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah.
Surga tak mungkin hadir, di rumah yang mirip kapal pecah. Kotor dan berantakan di sana-sini. Rumah seperti itu, juga tidak akan mendatangkan ketenteraman di hati penghuninya. Hanya akan membuat sumpek dan tak betah.
Untuk menciptakan rumah seindah surga, maka para penghuninya harus kompak dalam menjaga kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah.
Bersihkan rumah setiap hari. Hilangkan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Sediakan tempat sampah di sudut dapur. Untuk interior dalam rumah, tatalah seapik dan serapi mungkin. Biar pun perabotan rumah kita sangat sederhana, namun bila ditata dengan rapi, tentu akan tampak lebih serasi dan indah.
Jangan pernah menunda membereskan segala sesuatu. Misalnya, sehabis makan, usahakan segera mencuci perabotnya agar tidak menumpuk. Kalau piring dan gelas kotor dibiarkan menumpuk, akan mengganggu pandangan, dan membuat kita semakin malas membereskannya. Selain itu, akan mengundang binatang-binatang seperti semut, tikus, atau kucing untuk mendekat.


3. Hiasi diri dan anak-anak dengan akhlakul karimah.
Rumah mewah tidak akan membahagiakan bila para penghuninya tidak menghiasi diri dengan akhlakul karimah. Karena itu, suami-istri harus berusaha untuk memperbagus akhlaknya, serta mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik.
Seorang suami hendaknya membiasakan diri untuk bercakap-cakap dengan lemah lembut, tidak main bentak pada anak maupun istrinya. Demikian pula sebaliknya. Ingatlah sabda Rasulullah n bahwa sebaik-baik suami adalah yang paling baik terhadap keluarganya.


4. Jaga keluarga agar tidak kelaparan.
Seorang anak akan mudah rewel dan marah-marah, bila sampai kelaparan. Juga seorang suami atau istri, emosinya akan mudah tersulut bila ia dalam keadaan lelah dan lapar. Karena itu, suami harus bisa memberikan nafkah yang mencukupi, agar keluarganya tidak sampai kelaparan.
Pun seorang istri, harus mampu menghidangkan masakan lezat bagi suami dan anak-anaknya. Masakan lezat, tidak harus diolah dari bahan yang mahal. Ubi rebus pun bisa jadi makanan lezat, bila dihidangkan bersama teh hangat, dan dinikmati bersama-sama. Kebersamaan itu akan menurunkan berkah dari langit, dan membuat makanan sederhana jadi lebih istimewa.


5. Bersikaplah qana`ah.
Sikap qana`ah, adalah sikap menerima dan mensyukuri apa yang telah dianugerahkan  Allah l pada kita. Seberapa pun rezeki yang Allah berikan, harus selalu kita syukuri. Barangsiapa yang bersyukur maka Allah l akan menambah nikmat-Nya, dan barangsiapa kufur nikmat maka Allah akan mengazabnya.
Agar kita lebih mudah bersyukur, maka perhatikanlah sabda Rasulullah n, “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam urusan dunia –ed), dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian (dalam urusan dunia –ed). Hal ini lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat-nikmat Allah atas kalian.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)


6. Hindari konflik berkepanjangan.
Bila suatu saat terjadi konflik di antara suami dan istri, maka Anda berdua harus berusaha untuk segera meredamnya. Jangan ragu atau malu untuk mengakui kesalahan, atau meminta maaf lebih dulu, demi keharmonisan rumah tangga.
Biasakanlah mengucapkan kata “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih” dalam berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga.


7. Jauhkan setan dari rumah kita.
Agar setan menjauh dari rumah kita, maka semarakkanlah rumah dengan zikir dan bacaan al-Quran. Jangan pernah lupa untuk membentengi diri dan keluarga dengan zikir pagi dan petang. Jangan pula menjadikan rumah kita seperti kuburan, yang sepi dari bacaan al-Quran. Rumah yang tak pernah dibacakan zikir dan kalamullah di dalamnya, akan sangat disukai oleh setan.
Selain itu, jauhkanlah rumah kita dari gambar-gambar makhluk bernyawa. Gambar-gambar itu sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya, dan sangat disukai oleh setan.
Bagi yang memiliki televisi, gunakan hanya untuk melihat tayangan yang bermanfaat.


8. Hiaslah rumah atau halamannya dengan sesuatu yang menyejukkan.
Tanamlah berbagai pohon perindang, atau bebungaan, yang akan menyegarkan dan menyejukkan. Suasana teduh, asri, dan indah akan tercipta, sehingga membuat kita makin betah tinggal di rumah.

Mudah-mudahan kita bisa menghadirkan surga di rumah kita…. (Ummunaziha)

Wanita, Mayoritas Penghuni Neraka


Wanita, Mayoritas Penghuni Neraka!

Ditulis oleh: Muhammad Wasitho, Lc

Di antara prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan merupakan ijma’ mereka adalah meyakini bahwa surga dan neraka adalah makhluk yang Allah telah ciptakan dengan haq dan Dia menetapkan calon penghuni bagi keduanya. Allah jadikan Surga sebagai tempat tinggal abadi yang penuh dengan berbagai kenikmatan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, senantiasa berbuat amal shalih dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan neraka Dia jadikan sebagai tempat tempat tinggal yang mengerikan dan membinasakan bagi setiap orang kafir, musyrik, munafik dan durhaka kepada-Nya. Sebagaimana firman AllahTa’ala:

“(Surga itu) telah dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali Imran: 132] dan firman-Nya: Neraka itu telah dipersiapkan bagi orang-orang kafir.” [QS. Al-Baqarah: 24, QS. Ali Imran: 131]
Siapakah Mayoritas Penghuni Neraka?
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy radhiyallahu anhu, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari raya Idul Adha atau Idul Fitri menuju tempat shalat dan melalui sekelompok wanita. Beliau bersabda,’Wahai kaum wanita bersedekahlah, sesungguhnya aku telah diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka.’ Mereka bertanya,’Mengapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,’Kalian banyak melaknat dan durhaka terhadap suami. Dan tidaklah aku menyaksikan orang yang memiliki kekurangan akal dan agama yang dapat menghilangkan akal kaum laki-laki yang setia daripada salah seorang diantara kalian. Mereka bertanya,’Apa yang dimaksud dengan kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,’Bukankah kesaksian seorang wanita sama dengan separuh dari kesaksian seorang pria?’ Mereka menjawab,’Benar.’ Beliau berkata lagi,’Bukankah apabila wanita mengalami haidh maka dia tidak melakukan shalat dan puasa?’ Mereka menjawab,’Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,’itulah (bukti) kekurangan agamanya.’ (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Neraka diperlihatkan kepadaku. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Lalu, surga diperlihatkan kepadaku, dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir.” (HR. Ahmad)
Di dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah orang-orang fakir, dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)
Hadits-hadits tersebut di atas memberitahukan kepada kita dengan jelas dan gamblang bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang-orang fakir (miskin). Sedangkan penghuni neraka yang paling banyak adalah dari kaum wanita.
Mengapa Wanita Menjadi Mayoritas Penghuni Neraka?
Di dalam kisah gerhana matahari yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya melakukan shalat gerh43;Iana padanya dengan shalat yang panjang, beliau melihat Surga dan neraka. Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya:
“ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Para shahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, Mengapa (demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka bertanya lagi: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:“Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma)
Di dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang sifat wanita penduduk neraka, beliau bersabda :
“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Dari beberapa hadits yang telah lalu, kita dapat mengetahui beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam api neraka dan bahkan menjadikan mereka golongan mayoritas dari penghuninya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Banyak melaknat.

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kalian banyak melaknat”.
Imam Nawawi menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat akan haramnya melaknat. Laknat dalam bahasa Arab artinya adalah menjauhkan. Sedangkan menurut syariat artinya adalah menjauhkan dari rahmat Allah dan kebaikan-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang menjauhkan orang-orang yang tidak diketahui keadaannya dan akhir perkaranya dengan pengetahuan yang pasti dari rahmat dan karunia Allah. Karena itu mereka mengatakan,’Tidak boleh melaknat seseorang yang secara dhahir adalah seorang muslim atau kafir kecuali terhadap orang yang telah kita ketahui menurut dalil syar’i bahwa dia mati dalam keadaan kafir seperti Abu Jahal atau iblis.

Adapun melaknat (secara mutlak tanpa menyebut nama tertentu, pent) dengan menyebutkan sifat-sifatnya tidaklah diharamkan seperti melaknat seorang wanita yang menyambung dan minta disambungkan rambutnya, seorang yang mentato dan minta ditato, pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, pelukis (makhluk hidup), orang-orang zhalim, fasiq, kafir dan melaknat orang yang merubah batas-batas tanah, orang yang menasabkan seseorang kepada selain ayahnya, membuat sesuatu yang baru di dalam Islam (bid’ah), dan lainnya sebagaimana telah disebutkan oleh dalil-dalil syar’i yang menunjukkan kepada sifat, bukan diri orang tertentu. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 88 – 89)
2Durhaka terhadap suami dan mengingkari kebaikan-kebaikannya
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya”.
Kedurhakaan semacam ini banyak sekali kita dapati dalam kehidupan keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yang mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya disebabkan sikap atau perbuatan suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur atas kebaikan yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufurinya karena Allah tidak akan melihat kepada istri semacam ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)
Termasuk dalam bentuk kedurhakaan istri kepada suami adalah hal-hal berikut ini apabila dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at: Tidak melayani kebutuhan seksual suaminya, atau bermuka masam ketika melayaninya, tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, menyebarkan aib suami kepada orang lain, menolak bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya, meminta cerai dari suaminya tanpa sebab yang syar’i, dan yang semisalnya.
3. Tabarruj (bersolek)
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang.
Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)
Ibnu Abdil Barr berkata: “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan bentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya.” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103)
Mereka adalah wanita-wanita yang suka menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah telah melarang hal ini dalam firman-Nya:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (QS. An-Nuur: 31)
Wahai ukhti Muslimah, hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islami yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan azab di akhirat kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (QS. Al-Ahzaab: 33)
Inilah beberapa sebab yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari azab-Nya di dunia dan akhirat. Amiin.

21 Oktober 2012

KETIKA HARI RAYA BERTEPATAN DENGAN HARI JUMAT


KETIKA HARI RAYA BERTEPATAN DENGAN HARI JUMAT

Oleh : أُسْتَاذُ  Ahmad Zainuddin. Dammam. 


Fatwa No. 2358

Pertanyaan: "Tahun ini terkumpul dua id, hari Jum'at dan hari raya Iduladha, manakah yang benar, apakah kita mengerjakan shalat Zuhur jika belum mengerjakan shalat Jumat atau shalat Zuhur jatuh jika belum shalat Jumat?"

Jawaban: "Barangsiapa yang melaksanakan shalat Id pada hari Jumat diberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jumat pada hari itu kecuali Imam, maka wajib baginya mendirikan shalat Jumat dengan yang hadir untuk shalat Jum'at baik dari orang yang sudah melaksanakan shalat Id atau yang belum melaksanakan shalat Id, jika tidak ada seorangpun yang hadir maka gugur kewajiban shalat Jumat itu atas imam  dan ia melakukan shalat Zuhur, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

Artinya: "Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: "Aku pernah menyaksikan Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu: "Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?", ia menjawab: "Iya (pernah)", Mu'awiyah bertanya: "Bagaimanakah yang beliau lakukan", ia menjawab: "Beliau (shallallahu 'alaihi wasallam) shalat 'ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum'at, beliau bersabda: "Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia". 
HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310),

Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent) 

Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Artinya: "Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum'at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum'at bersama". 
HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al 'Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami' (no. 4365), pent). 
Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum'at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: "Tetapi kami tetap shalat Jum'at bersama ".

Dan juga dengan sebuah riwayat dari Imam Muslim, bahwa An Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma berkata: "Bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam membaca surat di shalat Jum'at dan shalat 'Ied dengan Surat Al 'Ala dan Surat Al Ghasyiyah, dan terkadang keduanya (shalat 'Ied dan shalat Jum'at) terkumpul di dalam satu hari maka beliau membaca kedua surat tersebut di dalam dua shalat ('Ied dan Jum'at)". 
HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), al-Hakim (1/277), al-Baihaqi (3/318-319) dan al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al 'Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami' (no. 4365), pent)

Dan Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat 'Ied maka wajib atasnya untuk melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengamalan atas keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang belum melaksanakan shalat Jum'at. 

Semoga Allah memberi taufik dan semoga shalawat dan salam selalu kepada Nabi Muhammad, para kerabat beliau dan shahabat. 

Komite Tetap untuk pembahasan Ilmiah dan fatwa untuk Kerajaan Arab Saudi
Ketua        : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil        : Abdurrazzaq Afifi
Anggota    : Abdullah bin Qu'ud dan Abdullah bin Ghudayyan

Diterjemahkan oleh: Ahmad Zainuddin
Jumat, 03 Dzulhijjah 1433H, Dammam Arab Saudi

silahkan baca selengkapnya:

20 Oktober 2012

Taat kepada Ulil Amri bukan suatu kehinaan


Taat kepada Ulil Amri bukan suatu kehinaan

Rabu, 17 Oktober 2012 , 13:18:54
Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc

Mereka menganggap bahwa mentaati ulil amri adalah sebuah kehinaan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyelisihi kaum jahiliyah dengan cara memerintahkan umatnya agar taat kepada ulil amri dalam perkara yang ma'ruf. Bahkan beliau mengabarkan akan munculnya pemimpin yang berhati setan dalam badan manusia karena saking jahatnya. HR Muslim.
Ketika beliau ditanya, "Apa yang harus kami lakukan?" Beliau menjawab, "Tetap mendengar dan taat walaupun harta kita diambil dan badan kita dipukul."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa agama adalah nasehat yaitu untuk Allah, RasulNya, kitabNya, ulil amri dan kaum muslimin secara umum. HR Muslim.
Makna nasehat kepada ulil amri adalah:
1. Mentaatinya dalam perkara yang ma'ruf.
2. Bersabar dari kezalimannya.
3. Mendo'akan kebaikan untuknya.
4. Meluruskan kesalahannya dengan cara yang ma'ruf.
Dalam hadits: "Siapa yang ingin menasehati ulil amri janganlah dengan cara terang-terangan, ambillah tangannya dan nasehatilah secara rahasia. Bila ia menerima (maka itu kebaikan) dan bila ia tidak menerima, maka ia telah melaksanakan tugasnya." HR Ahmad dll dan jalan-jalannya saling menguatkan satu sama lainnya sehingga menjadi hasan.
5. Tidak mencaci maki mereka dan membuka aib mereka di hadapan halayak.
Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata, "Para pembesar shahabat melarang kami; jangan mencaci para pemimpin, jangan berbuat curang kepada mereka, dan jangan membuat mereka marah. Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena urusan ini dekat." HR Ibnu Abi Ashim dalam kitab Assunnah.

10 Oktober 2012

QURBAN

Kurban Dilakukan Paling Sedikit Seekor Kambing

Oleh: ust Kholid Syamhudi Lc

Sdh diketahui kurban hkmnya sunnah muakkad, maka perlu diketahui bahwa kurban paling sedikit sekor kambing. Hal ini
Berdasarkan hadits yang terdahulu. Al-Mahally berkata :"onta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang. Tapi apabila mempunyai keluarga, maka (dengan seekor kambing itu) mencukupi untuk keseluruhan mereka. Demikian pula dikatakan bagi setiap orang diantara tujuh orang yang ikut serta dalam penyembelihan onta dan sapi. Jadi berkurban hukumnya sunnah kifayah (sudah mencukupi keseluruhan dengan satu kurban) bagi setiap keluarga, dan sunnah 'ain (setiap orang) bagi yang tidak memiliki rumah (keluarga).

Menurut (ulama) Hanafiah, seekor kambing tidak mencukupi melainkan untuk seorang saja. Sedangkan sapi dan onta tidak mencukupi melainkan untuk tiap tujuh orang. Mereka tidak membedakan antara yang berkeluarga dan tidak. Menurut mereka berdasarkan penakwilan hadits itu maka berkurban tidaklah wajib kecuali atas orang-orang yang kaya. Dan tidaklah orang tersebut dianggap kaya menurut keumuman di zaman itu kecuali orang yang memiliki rumah. Dan dinisbatkannya kurban tersebut kepada keluarganya dengan maksud bahwa mereka membantunya dalam berkurban dan mereka memakan dagingnya serta mengambil manfa'atnya.14)

Dan dibenarkan mengikutsertakan tujuh orang pada satu onta atau sapi, meskipun mereka adalah dari keluarga yang berbeda-beda. Ini merupakan pedapat para ulama. Dan mereka mengqiyaskan kurban tersebut dengan al-hadyu. 15)

Dan tidak ada kurban untuk janin (belum lahir). Ini adalah perkataan ulama. 16). 

* waktu kurban

Waktunya Setelah Melaksanakan Shalat Iedul Kurban
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa menyembelih sebelum shalat hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai shalat maka menyembelihlah dengan bismillah". Terdapat dalam Shahihain 17)
Dan di dalam shahihain dari hadits Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaklah dia mengulangi". 18)
Berkata Ibnul Qayyim :"Dan tidak ada pendapat seseorang dengan adanya (perkataan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang ditanya oleh Abu Burdah bin Niyar tentang seekor kambing yang disembelihnya pada hari Ied, lalu
beliau berkata : "Artinya : Apakah (dilakukan) sebelum shalat ? Dia menjawab : Ya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : Itu adalah kambing daging (yakni bukan kambing kurban)". (Al-Hadits).
Ibnu Qayyim berkata : "Hadits ini shahih dan jelas menunjukkan bahwa sembelihan sebelum shalat tidak dianggap (kurban), sama saja apakah telah masuk waktunya atau belum. Inilah yang kita jadikan pegangan secara qath'i (pasti) dan tidak diperbolehkan (berpendapat) yang lainnya. Dan pada riwayat tersebut terdapat penjelasan bahwa yang dijadikan patokan (berkurban) adalah shalatnya Imam".
Akhir Waktunya Adalah Di Akhir Hari-hari Tasyriq
Berdasarkan hadits Jubair bin Mut'im dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda : "Artinya : Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan".  (Dikeluarkan Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al-Baihaqi. Dan terdapat jalan lain yang menguatkan antara satu dengan riwayat yang lainnya. Dan juga diriwayatkan dari hadits Jabir dan lainnya. Dan ini diriwayatkan segolongan dari shahabat. 


‎* Sembelihan yang Terbaik adalah yang Paling Gemuk.

Berdasarkan hadits Abu Rafi': "Artinya : Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila berkurban, membeli dua gibas yang gemuk " (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad Hasan).
Dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Umamah bin Sahl berkata : "Artinya : Adalah kami menggemukkan hewan kurban di Madinah dan kaum Muslimin menggemukkan (hewan kurbannya)". Saya katakan, bahwa kurban yang paling afdhal (utama) adalah gibas (domba jantan) yang bertanduk.

Sebagaimana yang terdapat pada suatu hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi secara marfu' dengan lafadzh: "Artinya : Sebaik-baik hewan kurban adalah domba jantan yang bertanduk".

(Dan juga dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dan di dalam sanadnya terdapat 'Ufair bin Mi'dan dan dia Dha'if. Al-Udhiyah (sembelihan kurban) yang dimaksud bukanlah Al-Hadyu. Dan terdapat pula nash pada riwayat Al-Udhiyah, maka nash wajib didahulukan dari qiyas mengqiyaskan udhiyah dengan Al-Hadyu), dan had ts : "Domba jantan yang bertanduk". adalah nash diantara perselisihan ini.
Apabila dikhususkan berkurban dengan domba berdasarkan zhahir hadits, dan bila meliputi yang lainnya, maka termasuk yang dikebiri. Tetapi yang utama tidaklah dikhususkan dengan hewan yang dikebiri. Adapun penyembelihan kurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berupa hewan yang dikebiri tidak menunjukkan lebih afdhal dari yang lainnya, namun yang ditujuk pada riwayat tersebut bahwa berkurban dengan hewan yang dikebiri adalah boleh.

Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hewan kurban. Sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk mengetahuinya agar ia berada di atas ilmu dalam melakukan ibadahnya, dan di atas keterangan yang nyata dari urusannya. berikut ini aku sebutkan hukum-hukum tersebut secara ringkas.

Pertama : 
Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam berkurban dengan dua ekor domba jantan (Akan datang dalilnya pada point ke delapan) yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam mengabarkan (yang artinya) : “ Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk kurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya” (Riwayat Bukhari (5560) dan Muslim (1961) dan Al-Bara’ bin AziB)

Kedua : 
Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam memerintahkan kepada para sahabatnya agar mereka menyembelih jadza’ dari domba, dan tsaniyya dari yang selain domba (Berkata Al-Hafidzh dalam “Fathul Bari” (10/5) : Jadza’ adalah gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak, kalau dari domba adalah yang sempurna berusia setahun, ini adalah ucapan jumhur. Adapula yang mengatakan : di bawah satu tahun, kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang mengatakan 8 dan ada yang mengatakan 10. Tsaniyya dari unta adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi dan kambing adalah yang telah sempurna berusia 2 tahun. Lihat “Zadul Ma’ad” (2/317).)
Mujasyi bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya jadza’ dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya dari kambing” (‘Shahihul Jami’ (1592), lihat ” Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah” (1/87-95).)

Ketiga : 
Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam : (bahwa) beliau bersabda : (yang artinya) : “ Setiap hari Tasyriq ada sembelihan” ( Dikeluarkan oleh Ahmad (4/8), Al-Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” (3/1118) dan pada sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabari dalam ‘Mu’jamnya” dengan sanad yang padanya ada kelemahan (layyin). Hadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam “Al-Kamil” dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang padanya ada kelemahan. Hadits ini hasan Insya Allah, lihat ‘Nishur Rayah” (3/61).)
Berkata ibnul Qayyim rahimahullah “Ini adalah madzhabnya Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga Allah merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan pendapatnya lebih dari satu sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam. Al-Atsram menyebutkannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum”( Zadul Ma’ad (2/319))

Keempat : 
Termasuk petunjuk Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bagi orang yang ingin menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah. Telah pasti larangan yang demikian itu. (Telah lewat takhrijnya pada halaman 66, lihat ‘Nailul Authar” (5/200-203).)
Berkata An-Nawawi dalam “Syarhu Muslim” (13/138-39). “Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau memecahkannya, atau yang selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu (Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut.) atau selainnya. Sama saja apakah itu rambut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya“.
Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (11/96) “Kalau ia terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada Allah Ta’ala dan tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma, sama saja apakah ia melakukannya secara sengaja atau karena lupa“.
Aku katakan : Penuturan dari beliau rahimahullah mengisyaratkan haramnya perbuatan itu dan sama sekali dilarang (sekali kali tidak boleh melakukannya -ed) dan ini yang tampak jelas pada asal larangan nabi.

‎​Pendapat yang rojih ttg usia hewan Kurban adalah  Al-musinnah atau ats-tsaniyah dari sapi adalah usia 2 tahun masuk tahun ke-3 sedangkan kambing sempurna setahun dan masuk tahun ke-2.

Kelima : 
Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam memilih hewan kurban yang sehat, tidak cacat.Beliau melarang untuk berkurban dengan hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya(Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (1/83, 127,129 dan 150), Abu Daud (2805), At-Tirmidzi (1504), An-Nasa’i (7/217) Ibnu Majah (3145) dan Al-Hakim (4/224) dari Ali radhiyallahu ‘anhu dengan isnad yang hasan.). Beliau memerintahkan untuk memperhatikan kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan kurban, dan tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa’ ataupun kharqa’ semua itu telah pasti larangan nya.( Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya. Mudabarah : hewan yang dipotong bagian belakang telinganya. Syarqa : hewan yang terbelah telinganya dan Kharqa : hewan yang sobek telinganya. Hadits tentang hal ini isnadnya hasan diriwayatkan Ahmad (1/80 dan 108) Abu Daud (2804), At-Tirmidzi (4198) An-Nasa’i (7/216) Ibnu Majah (3143) Ad-Darimi (2/77) dan Al-Hakim (4/222) dari hadits Ali radhiyallahu ‘anhu.)
Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada riwayat dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam yang dibawakan Abu Ya’la (1792) dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang dihasankan oleh Al-Haitsami dalam ” Majma’uz Zawaid” (4/22).

Keenam : 
Beliau Shalallahu’alaihi Wassallam menyembelih kurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5552) An-Nasai 97/213) dan Ibnu Majah (3161) dari Ibnu Umar.)

Ketujuh : 
Termasuk petunjuk Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Atha’ bin Yasar (Wafat tahun (103H) biografisnya bisa dibaca dalam “Tahdzibut Tahdzib” (7/217).) : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : “Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam?” Ia menjawab : “Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi makan yang lain” (Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Majah (3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan.)

Kedelapan : 
Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban, karena ada riwayat dari Anas bahwa ia berkata : (yang artinya) : “ Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut” (Diriwayatkan oleh Bukhari (5558), (5564), (5565), Muslim (1966) dan Abu Daud (2794).)

Kesembilan : 
Hewan kurban yang afdhal (lebih utama) berupa domba jantan (gemuk) bertanduk yang berwarna putih bercampur hitam di sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat hewan kurban yang disukai Rasulullah (Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Daud (2792).)

Kesepuluh : 
Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam menyembelih hewan kurbannya. (Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara ulama, lihat point ke 13 ).....

Kesebelas : 
Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam (yang artinya) : “ Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah” (Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Adapun riwayat larangan untuk menyimpan daging kurban mansukh (dihapus), lihat ‘Fathul Bari’ (10/25-26) dan “AlI’tibar” (120-122). Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.)

Kedua belas : 
Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari tujuh orang. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam “Shahihnya” (350) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata (yang artinya) : “ Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi betina untuk tujuh orang“

Ketiga belas : 
Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali radhiyallahu ia berkata. (yang artinya) : “ Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam memerintahkan aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya (Dalam Al-Qamus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk berlindung dengannya.) dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami” (Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Majah (3099) Al-baihaqi (9/294) dan Ahmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhari meriwayatkannya (1716) tanpa lafadh : “Kami akan memberinya dari sisi kami“.)

Keempat belas : 
Siapa di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang menyembelih dari umat Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam karena Nabi berkata ketika menyembelih salah satu domba (yang artinya) : “ Ya Allah ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih dari kalangan umatku” ( Telah lewat takhrijnya pada halaman 70)

Kelima belas : Berkata Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (11/95) : “Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam dan Al-Khulafaur rasyidun sesudah beliau menyembelih kurban. Seandainya mereka tahu sedekah itu lebih utama niscaya mereka menuju padanya. Dan karena mementingkan/ mendahulukan sedekah atas kurban mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam.
(Dikutip dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari) 
selesai.