30 Mei 2014

CADAR

Memiliki isteri yang bercadar adalah anugerah. Alhamdulillah...

Makna selembar kain yang menutup wajah anggun itu, ia bukanlah tempat bersembunyi agar wajah pas-pasan tidak terlihat, bukan pula tempat menutup wajah cantik nan menawan, ia adalah kain penutup yang bermakna ketakwaan.
Ketakwaan seorang wanita pada Allah dan Rasul-Nya, sebagai bentuk rasa berserah sang hamba pada-Nya.

Makna selembar kain yang menutup di wajah ini, ia bukanlah sarana untuk membanggakan diri agar terlihat lebih baik daripada yang lain, bukan pula alat untuk unjuk gigi agar disebut shalihah ketimbang yang tidak menutup muka, juga bukan benda yang difungsikan untuk pamer dan riya’.

Ia adalah pakaian anggun yang mempunyai fungsi sebagai pengontrol, agar terkendali sikap ini berbuat aniaya dan hina. Pengendali agar diri tidak terjerat pada ajang tebar pesona, entah di dunia nyata atau maya.

Makna selembar kain yang menempel di wajah ini, ia bukanlah kain yang dikenakan untuk tujuan meraup simpati, tidak juga untuk tebar pesona dan gengsi.

Ia adalah kain yang mempunyai berlapis-lapis manfaat, agar terjaga pandangan ini, terjaga sikap ini pada lawan jenis yang bukan mahram, juga untuk melindungi diri dari gangguan manusia jahil.

Makna selembar kain di wajah ini, ia bukanlah alat untuk meneriakkan ‘aku wanita bercadar yang lebih baik dari kalian yang tidak bercadar’, tetapi ia adalah alat untuk menutup aurat dan membedakan jati diri muslimah dengan yang lain, yang dikenakan bukan untuk merasa lebih baik dari yang tidak bercadar. Ia adalah alat untuk mengukur diri, sudah benarkah sikap ini sebagai muslimah sejati? Juga sebagai alat untuk menahan diri dari kehidupan dunia gemerlap.

Makna selembar kain yang melekat di wajah ini, ia bukanlah kain yang cukup diartikan sebagai penutup wajah saja. Ia adalah kain yang hendaknya membuat diri pemakai semakin giat mencari tahu, kenapa harus mengenakannya, agar pemakai tidak jatuh pada taqlid/buta.

Makna selembar kain yang membalut diwajah ini, ia bukanlah pertanda bahwa berarti pemakainya adalah manusia istimewa, tetapi dari kain itulah wanita belajar agar istimewa, menghindari pujian, menepis sanjungan, menolak simpati murahan.

#Memakai cadar hukumnya sunnah, bukanlah wajib. Namun padanya banyak manfaat dan keutamaan.

Afza Fajri Khatami Masyhadi
______________________

26 Mei 2014

Ringkasan Ceramah Agama Islam: Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya Larangan Pengagungan terhadap Kuburan

Berikut ini merupakan rekaman kajian agama Islam tematik bersama Ustadz Firanda Andirja, yang disampaikan pada Senin malam, 22 Rajab 1435 / 22 Mei 2014 di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Cileungsi, Bogor. Kajian ini diadakan selama 3 hari berturut-turut dari tanggal 20-22 Mei 2014, dengan pembahasan menarik seputar “Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan“, dan pada kajian kali ini beliau akan menjelaskan tentang beberapa ajaran Imam Syafi’i yang banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang mengaku mengikuti beliau, yaitu “Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya“.

Ringkasan Ceramah Agama Islam: Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Larangan Pengagungan Kuburan, Bidahnya Tahlilan, dan Seterusnya

Larangan Pengagungan terhadap Kuburan

Sesungguhnya ibadah itu dibangun di atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang dipahami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Tatkala para pemakmur kuburan yang mencari barokah di sana mengetahui bahwasanya perbuatan mereka menyelisihi dan bertentangan dengan terlalu banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka merekapun berusaha untuk berdalil dengan perkataan ulama yang sepakat dengan aqidah mereka.
Diantara perkataan para ulama yang dijadikan dalil untuk menguatkan kebiasaan mereka beribadah di kuburan adalah perkataan Al-Baidhawi rahimahullah.
Padahal perkataan Al-Baidhawi ini menyelisihi kesepakatan para ulama besar Madzhab As-Syafi’iyah. Dan para pemakmur kuburan di tanah air kita secara umum mengaku bermadzhab As-Syafiiyah. Akan tetapi tatkala ada perkataan seorang ulama yang sesuai dengan keyakinan mereka maka merekapun ramai-ramai memegang teguh perkataan tersebut dan meninggalkan hadits-hadits yang begitu banyak yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka…serta meninggalkan kesepakatan perkataan para ulama besar Asy-Syafiiyah.
An-Nawawi juga telah menukil kesepakatan para ulama tentang dilarangnya mengusap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari barakah. Beliau rahimahullah berkata :
“Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Di antara perkataan ulama Madzhab Syafi’i yang melarang pengagungan terhadap kuburan adalah Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
“Dan telah sepakat teks-teks dari Asy-Syafi’i dan juga Ash-haab (*para ulama besar Madzhab Syafi’iah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Asy-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak”. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farani rahimhullah : Dan tidak boleh shalat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barakah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, Wallahu A’lam“.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)

Tahlilan adalah Bid’ah Menurut Madzhab Syafi’i

Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, “Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”.
Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah “Tahlilan” di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan “Dasar Wahabi“..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?
Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab Syafi’i !!!. Ternyata para ulama besar dari Madzhab Syafi’iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal bid’ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi’yah seperti Imam Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!

Ijma’ Ulama bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab tidak Pernah Tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).
Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, “Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja!!!”.
Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu ‘anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??.
Istri beliau yang sangat beliau cintai Khadijah radhiallahu ‘anha juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthhalib, sepupu beliau Ja’far bin Abi Thalib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.
Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari’at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari’at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan??!!
Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama!!!

Argumen Madzhab Syafi’i yang Menunjukkan Makruhnya/Bid’ahnya Acara Tahlilan

Banyak hukum-hukum Madzhab Syafi’i yang menunjukkan akan makruhnya/bid’ahnya acara tahlilan. Daintaranya:
Pendapat Madzhab Syafi’i yang mu’tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta’ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Para sahabat kami (para fuqahaa madzhab syafi’i) mengatakan : “Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)


Read more: http://www.radiorodja.com/ajaran-madzhab-imam-syafii-yang-ditinggalkan-larangan-pengagungan-kuburan-bidahnya-tahlilan-dan-haramnya-ngalap-berkah-yang-tidak-syari-ustadz-abu-abdil-muhsin-firanda-andirja-ma/#ixzz32mU3YSLW

Ringkasan Ceramah Agama Islam: Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Cadar, Haramnya Rokok, dan Tercelanya Fanatik Madzhab Cadar



Berikut ini merupakan rekaman kajian agama Islam tematik bersama Ustadz Firanda Andirja, yang disampaikan pada Senin malam, 21 Rajab 1435 / 21 Mei 2014 di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Cileungsi, Bogor. Kajian ini diadakan selama 3 hari berturut-turut dari tanggal 20-22 Mei 2014, dengan pembahasan menarik seputar “Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan“, dan pada kajian kali ini beliau akan menjelaskan tentang beberapa ajaran Imam Syafi’i yang banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang mengaku mengikuti beliau, yaitu “Cadar, Haramnya Rokok, dan Tercelanya Fanatik Madzhab“.

Ringkasan Ceramah Agama Islam: Ajaran Madzhab Imam Syafi’i yang Ditinggalkan: Cadar, Haramnya Rokok, dan Tercelanya Fanatik Madzhab

Cadar

Permasalahan cadar merupakan permasalahan khilafiyah di kalangan para ulama, tetapi perlu diingat bahwa para ulama telah sepakat memakai cadar hukumnya disyari’atkan, dan minimal mustahab (sunnah). Mereka (para ulama) hanya khilaf tentang kewajiban bercadar.

Dalil tentang Cadar

Di antara dalil yang menunjukan disyari’atkannya cadar adalah firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS Al-Ahzab [33]: 53)
Ayat ini disepakati oleh para ulama bahwa berhijab dan menutup wajah itu wajib. Hanya saja para ulama yang membolehkan membuka wajah berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, jika pengkhususan tersebut hanya terhadap para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam maka kurang tepat.
Al-Qaadhy ‘Iyyadh rahimahullah berkata:
فهو فرض عليهن بلا خلاف في الوجه والكفين فلا يجوز لهن كشف ذلك
“Berhijab diwajibkan atas mereka (para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam) pada wajah dan kedua telapak tangan, tanpa ada khilaf (dikalangan ulama), maka tidak boleh bagi mereka membuka wajah dan kedua telapak tangan mereka.” (Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 8/391)

Cadar Menurut Madzhab Syafi’i

Yang anehnya ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam Madzhab Syafi’iyah adalah wajibnya menutup wajah, bukan hanya disunnahkan! Akan tetapi, pendapat ini serasa asing dan aneh di tanah air kita yang nota bene sebagian besar penganut Madzhab Syafi’iyah. Beberapa perkataan Imam Syafi’i berkaitan dengan cadar adalah:
وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ تَنْتَقِبَ
“Dan wanita berbeda dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya adapun lelaki ihramnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita. Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh baginya untuk menggunakan niqab” (Al-Umm 2/148-149)
Beliau juga berkata:
وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا
“Boleh bagi wanita (yang sedang ihram, -pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga ia ber-sitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh wajahnya.” (Al-Umm 2/203)
Beliau juga berkata:
وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ
“Dan aku suka bagi wanita yang dikenal cantik untuk thawaf dan sa’i di malam hari. Jika thawaf di siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia thawaf dalam keadaan tertutup.” (Al-Umm 2/212)
Para ulama Syafi’iyah banyak yang mengatakan bahwa cadar itu wajib, namun ada juga yang mengatakan bahwa ketika shalat, wajah dan telapak tangan dibuka. Adapun di luar shalat, yaitu di hadapan lelaki asing maka wajah adalah aurat yang harus ditutup. Berikut beberapa pernyataan ulama Syafi’iyah yang berkaitan dengan cadar.
Diantara mereka adalah:
(1) Imamul Haramain al-Juwaini, beliau berkata :
مع اتفاق المسلمين على منع النساء من التبرج والسفور وترك التنقب
“…disertai kesepakatan kaum muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka wajah mereka dan meninggalkan cadar…”(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/31)
(2) Al-Ghazali rahimahullah, beliau berkata :
فإذا خرجت , فينبغي أن تغض بصرها عن الرجال , ولسنا نقول : إن وجه الرجل في حقها عورة , كوجه المرأة في حقه, بل هو كوجه الصبي الأمرد في حق الرجل , فيحرم النظر عند خوف الفتنة فقط , فإن لم تكن فتنة فلا , إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه , والنساء يخرجن منتقبات , ولو كان وجوه الرجال عورة في حق النساء لأمروا بالتنقب أو منعن من الخروج إلا لضرورة
“Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurat bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurat bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurat bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat” (Ihyaa Uluum Ad-Diin 2/47)
Sangat jelas dalam pernyataan Al-Ghazali diatas akan wajibnya bercadar, karena jelas beliau menyatakan bahwa wajah wanita adalah aurat yang tidak boleh dipandang oleh lelaki asing, karenanya para wanita bercadar. Jika wajah para lelaki adalah aurat yang tidak boleh dipandang oleh para wanita secara mutlak maka para lelaki tentu akan diperintahkan bercadar.
(3) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata
ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح
“Dan diharamkan seorang lelaki dewasa memandang aurat wanita dewasa asing, demikian juga haram memandang wajahnya dan kedua tangannya tatkala dikhawatirkan fitnah, dan demikian juga haram tatkala aman dari fitnah menurut pendapat yang benar” (Minhaaj At-Thalibin hal 95)
(4) As-Subki rahimahullah, beliau berkata :
الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة
“Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi’iyah bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal dipandang bukan dalam sholat” (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma’rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129)
(5) Ibnu Qaasim (wafat 918 H) rahimahullah, beliau berkata:
(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah auratnya dalam shalat, adapun di luar sholat maka auratnya adalah seluruh tubuhnya.” (Fathul Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84)
(6) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :
ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب
“Dan dimakaruhkan seorang lelaki shalat dengan baju yang ada gambarnya, demikian juga makruh shalat dengan menutupi wajahnya. Dan dimakruhkan seorang wanita shalat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk membuka cadarnya” (Al-Iqnaa’ 1/124)
Kesimpulan
Memakai cadar merupakan perkara yang telah dikenal sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini. Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang pakaian wanita yang hendak ihram :
وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
“Wanita yang ihram tidak boleh memakai cadar” (HR Al-Bukhari no 1837)
Hadits ini menunjukkan bahwa memakai cadar merupakan kebiasaan para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya Nabi mengingatkan agar mereka tidak memakai cadar tatkala sedang ihram.
Tradisi kaum muslimat memakai cadar juga telah ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-’Asqalaani rahimahullah. Beliau berkata :
استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والاسواق والاسفار منتقبات لئلا يراهن الرجال ولم يؤمر الرجال قط بالانتقاب … إذ لم تزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن منتقبات
“Berkesinambungannya praktek akan bolehnya para wanita keluar ke mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta bersafar dalam kondisi bercadar agar mereka tidak dilihat oleh para lelaki. Dan para lelaki sama sekali tidak diperintahkan untuk bercadar…dan seiring berjalannya zaman para lelaki senantiasa membuka wajah mereka dan para wanita keluar dengan bercadar..” (Fathul Baari 9/337)
Ibnu Hajar juga berkata :
ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الاجانب
“Dan senantiasa tradisi para wanita sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwasanya mereka menutup wajah-wajah mereka dari para lelaki asing.” (Fathul Baari 9/324)

Haramnya Rokok

Merupakan perkara yang masyhur di kalangan masyarakat Indonesia bahwa rokok hukumnya adalah makruh (dibenci) saja dan tidak sampai haram. Karena hukumnya hanya dianggap makruh maka berlomba-lombalah masyarakat untuk merokok. Bahkan para ustadz dan para kiyai pun tidak kalah dalam semangat merokok. Tidak jarang pengajian-pengajian yang dipenuhi kebulan asap rokok !!!. Bahkan ada yang berkata, “Justru rokok ini sunnah bagi saya, kalau saya tidak merokok maka kepala saya pening dan tidak bisa menyampaikan materi pengajian dengan baik ??!!”.
Fenomena yang unik pula, ternyata sebagian pondok-pondok mendapatkan salah satu pemasukan terbesar dari hasil penjualan rokok di dalam pondok??!!.
Jika para santri begitu semangat mengebulkan asap rokok.., jika para ustadz dan kiyai tidak kalah semangatnya…-sementara mereka adalah panutan masyarakat- maka sangatlah wajar jika masyarakat akhirnya berlomba-lomba memperbanyak kebulan asap rokok ??!!
Tidak aneh jika fatwa MUI tentang haramnya rokok ditolak mentah-mentah oleh sebagian kiyai.
Di antara ulama Syafi’iyah yang mengatakan akan haramnya rokok adalah Ibnu ‘Allaan Al-Bakriy As-Shiddiiqiy Asy-Syaafi’i (wafat 1057 H) rahimahullah, yang mana beliau telah menulis sebuah kitab khusus tentang pengharaman rokok yang beliau beri judul إِعْلاَمُ الإِخْوَانِ بِتَحْرِيْمِ تَنَاوُلِ الدُّخَانِ (Pemberitahuan kepada saudara-saudaraku akan haramnya merokok).
Beliau berkata dalam kitab tersebut :
وقد اتَّفق العلماءُ على حِفْظ العقول وصونها من المغيِّرات والمخدِّرات، وكلُّ مَن امتصَّ هذا الدخان مقرٌّ بأنَّه لا بدَّ أن يدوخ أوَّلَ تناوله، ويكفي ذلك دليلاً على التحريم؛ لأنَّ كل ما غيَّر العقل بوجه من الوجوه، أو أثَّر فيه بطريق تناوله – حرامٌ
“Para ulama telah sepakat tentang penjagaan akal dan melindunginya dari perubah-perubah dan pembuat melayang. Dan semua orang yang mengisap rokok mengakui bahwasanya ia pasti pening tatkala pertama kali mengisap rokok. Maka hal ini sudah cukup sebagai dalil/argumen akan haramnya rokok. Karena semua perkara yang merubah akal dengan model apapun atau mempengaruhi akal dengan mengonsumsinya maka hukumnya adalah haram” (Dinukil dari kitab Ad-Dalaail al-Wadhihaat hal 169)
Bagaimana penjelasan selengkapnya mengenai hal ini? Silakan download kajian ini dan simak penjelasan dari Ustadz Firanda Andirja, M.A. mengenai hal ini. Semoga bermanfaat.



Read more: http://www.radiorodja.com/ajaran-madzhab-imam-syafii-yang-ditinggalkan-cadar-haramnya-rokok-dan-tercelanya-fanatik-madzhab-ustadz-abu-abdil-muhsin-firanda-andirja-ma/#ixzz32mMHK4ra